JATIMULYA, PLANETDEPOK.COM – Perubahan klasifikasi dan lembaga penerbitan Sertifikasi Badan Usaha (SBU) serta Sertifikasi Kompetensi Kerja Jasa Konstruksi (SKK-K), dampak dari pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, membuat para pengusaha Jasa Konstruksi (Jakon) di Kota Depok pusing dan tidak nyaman berinvestasi.
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Badan Pengurus Cabang Gabungan Pengusaha Kontruksi Nasional Indonesia (BPC Gapensi) Kota Depok Andi, saat ditemui disela Bimtek Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) terhadap Asosiasi Jakon yang diselenggarakan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (DPUPR) Kota Depok, di Sasono Mulyo, Jatimulya, Cilodong, Selasa (29/3/2022).
“SBU sekarang mengikuti aturan yang terbaru, yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU) bukan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK),” ujarnya.
Terbitnya SBU dari LSBU, papar Andi, syaratnya harus punya satu tenaga ahli di setiap satu sub bidang. Jika bidangnya satu sub bidangnya 2, maka perusahaan harus punya 3 tenaga ahli.
“Kalau Kita punya dua sub bidang, jadi kita harus punya 3 tenaga ahli, satu sebagai regulator di badan usahanya, sama satu-satu di setiap sub bidangnya. Itu yang harus kita lengkapi,” jelasnya.
Sekarang , kata dia memang agak berat, lantaran semua asosiasi jasa SBU konstruksi, belum bisa keluarkan Sertifikasi Ketrampilan (SKT), yang baru bisa hanya Sertifikasi Keahlian (SKA) level 6 ke atas.
“Yang level 5 kebawah, belum bisa karena itu tamatan STM, SLTA dan lainnya, yang berpengalaman minimal sekian tahun,” tekannya.
Lebih jauh dia mengungkapkan, yang keluarkan SKT sekarang adalah Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), yang sudah berlisensi. Hingga bulan Maret, ada sekitar 8 LSP yang bisa terbitkan sertifikasi profesi tersebut.
“Sampe bulan maret ini, baru ada 8, tidak semua bisa, kalau dulu banyak yang bisa keluarkan, sekarang baru 8 lembaga yang teregistrasi, jadi untuk dapat terbitnya SKT, juga relatif cukup susah,” keluhnya.
Jadi, lanjutnya, jika perusahaan punya 1 SKT, mereka berat untuk bisa merubah SBU terbaru, pasalnya memang salah satu syaratnya disitu.
“Syarat lainnya seperti modal usaha kecil itu, minimal setiap sub bidang itu 300 juta, jika punya 5 sub bisa kita lihat berapa modal yang disiapkan. Lalu, alat harus punya sendiri tidak boleh pinjem dan sewa,” unggahnya.
Walaupun begitu, tandasnya, sekarang modalnya bisa dengan secara bikin perjanjian atau semacammya, masih ditoleransi selama 1 tahun, begitu juga ISO, masih ditunda sampai 3 tahun ke depan, bisa saja nanti berubah.
Semua permasalahan diatas, menurutnya dampak dari UU Cipta Kerja, sehingga membuat pengusaha Jakon, tidak nyaman dalam berinvestasi.
Pasalnya, menurut dia, kebijakan pemerintahan pusat itu justru dirasakan olehnya, membunuh para pengusaha Jakon secara pelan-pelan.
Andi mengatakan, lahirnya UU Cipta Kerja bukan bikin nyaman justru tambah pusing pengusaha Jakon, untuk regulasi turunannya.
“Utamanya bagi pengusaha jasa konstruksi ya siap-siap saja, dibilang untuk berkibar lagi ya berat, karena regulasi dari PUPR pusat dan daerah, kita lihat tidak untuk melindungi kita, tapi membunuh kita pelan-pelan secara kebijakannya,” terangnya.
Walaupun tujuannya mungkin baik awalnya, imbuhnya, tapi sampai saat ini belum terlihat regulasi kebijakan yang membuat pengusaha Jakon nyaman dalam berinvestasi.
Sebagai tambahan, dikutip dari situs kebijakanpublikpengadaanbarangdanjasapemerintah.com, dalam rangka pelaksanaan UU Cipta Kerja, pada tanggal 31 Maret 2021, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengeluarkan Peraturan Nomor 6 Tahun 2021 (PM 06/2021) tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko Sektor PUPR
Dalam regulasi tersebut, terjadi penyesuaian dengan KBLI, Berubahnya Klasifikasi/Sub Klasifikasi beserta ruang lingkupnya.
Selain itu, dari situs ijintender.go.id menerangkan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta turunannya PP No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, mengamanatkan Pemerintah Pusat agar menciptakan sistem perizinan terpadu, sebagai upaya untuk mempermudah perizinan berusaha.
Pada PP Nomor 5 Tahun 2021, terdapat empat sertifikat standar perizinan berusaha susbektor jasa konstruksi, yaitu lisensi LSBU, lisensi LSP, SBU dan SKK-K.
Ditambah, terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri PUPR Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan atas SE Menteri PUPR Nomor 30 Tahun 2020 tentang Transisi Layanan Sertifikasi Badan Usaha (SBU) dan Sertifikasi Kompetensi Kerja Jasa Konstruksi (SKK-K). Dengan berlakunya SE tersebut, Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi tidak lagi melayani sertifikasi tersebut.
Lalu dari situs lpjk.pu.go.id memaparkan,
tanggal 3 Desember 2021 telah diberlakukan Pengakhiran Masa Transisi Layanan SBU dan SKK-K. Berakhirnya Penyelenggaraan Sertifikasi pada Masa Transisi ditandai dengan terbitnya Surat Edaran Menteri PUPR Nomor 21/SE/M/2021 tentang Tata Cara Pemenuhan Persyaratan Perizinan Berusaha, Pelaksanaan SKK-K dan Pemberlakuan SBU, dimana menjadi landasan teknis bagi LSBU dan LSP jasa konstruksi, dalam melaksanakan operasionalisasi tugas dan fungsinya.
Terhitung mulai tanggal 7 Desember 2021, maka permohonan SBU dan SKK, selanjutnya akan dilayani oleh LSBU dan LSP melalui OSS RBA, yang terhubung dengan Sistem Informasi Jasa Konstruksi Terintegrasi (SIJK-T), serta portal perizinan Kementerian PUPR untuk pemenuhan persyaratan. *iki